sejujurnya, jika kamu ingin membaca chapter ini, kamu
harus paham terlebih dahulu tentang bagaimana saya menyikapi sebuah masalah
dalam hidup. Dan semua sikap saya terhadap permasalahan hidup, sudah saya bahas
di chapter “the power of yaudah”. Dan untuk menjaga uang koin tetap terjaga,
kamu harus melihat sisi sebaliknya. Untuk menjaga “ying” tetap “yang”, kamu
harus melihat sisi gelapnya. Secara garis besar, manusia dibagi menjadi dua
tipe, yang pertama adalah manusia yang selalu bilang
“tenanglah, paling tidak saya lebih baik darinya”.
dan tipe yang kedua adalah, manusia yang selalu bilang ,
“sial ! kenapa hidupku seperti ini ! kenapa mereka lebih
beruntung daripada aku ?”.
Mungkin saya sudah terbiasa menyikapi berbagai hal dengan
yaudah, tapi bagaimana dengan pengeluh-pengeluh pemula yang beredar di dunia
maya ? apakah mereka sama dengan saya ? jawabanya adalah “ya”. Sejujurnya,
sebelum saya jadi selomo ini, masa lalu saya penuh dengan keluhan. Sungguh banyak
sekali keluhan dalam hidup. Saya masih ingat betul saat saya SD, tumpukan
keluhan saya tumpuk-tumpuk menjadi sebuah bukit. Dari keluhan kenapa saya tidak
punya PS2, kenapa saya tidak punya otopet, dan kenapa saya berangkat sekolah
disuruh naik sepeda ?. dan keluhan-keluhan lain yang tidak bisa saya sebutkan
satu persatu-persatu.
Apakah keluhan itu baik ? ya bisa iya, bisa tidak. Saat saya
kecil, media sosial belum ditemukan. Belum ada facebook, twitter, instagram dan
medsos lainya. Sehingga jika saya ingin mengeluhkan sesuatu, selalu saya tulis
di buku tulis di bagian paling belakang. Hanya saya dan buku tulis yang tau. Sehingga
keluhan itu seperti ambisi yang harus saya raih, ambisi dan cita-cita yang
hanya saya dan buku tulis yang tau, bukan seperti pengeluh pemula yang sekarang
beredar sangat banyak di dunia maya. Asal kalian tahu, mengeluh di media sosial
hanyalah tindakan membuang-buang tenaga. Asala kalian sadari, itu hanyalah
menularkan energi negatif ke pembaca lain yang merasa sama dengan anda. Apakah keluhanmu
akan berakhir dengan like yang banyak dan teman-temanmu yang sok peduli itu ?
sepertinya hanya empati sampah yang tidak akan memberikan solusi apa-apa. Dibandingkan
dengan saya, keluhan yang saya tulis dibuku jauh lebih bermanfaat untuk saya , tapi tidak untuk buku. Memang kasihan si buku.
Alkisah, pernah suatu ketika, teman saya dibelikan otopet
oleh bapak ibunya. Bagi yang tidak tau otopet, itu adalah kendaraan yang sering
digunakan poo untuk berkeliling-keliling di bukit teletubies.
“wahai ibunda, kenapa kau tak belikan aku otopet seperti
yang dia miliki itu ?, kenapa dia dengan mudah mendapatkan apa yang dia
inginkan ?” tanyaku.
“wahai anaku, sesungguhnya ibumu tidak punya uang untuk
membelikanmu kendaraanmu seperti itu, jika kamu benar-benar menginginkan
sesuatu, kamu harus berusaha dengan usahamu sendiri”. Jawab ibu.
Lalu ibu kembali berujar,
“oke baiklah, ibu akan membelikanmu otopet, tapi jika
kamu rangking 1 berturut-turut dari kelas 1 sampai kelas 3”
Lalu saya menajwab, “oke, tak masalah, mudah saja bagiku”.
Lalu saya pun langsung belajar dengan khidmat setiap
hari. Ditahun pertama saya berhasil menyapu bersih rangking 1, ditahun kedua
pun dilaluinya dengan mudah, dan ditahun ketiga dia akhiri dengan fantastis.
“oke ibu , saya sudah ranghking 1 banyak sekali, sekarang
silahkan pergi ke toko otopet dan belikan kendaraan itu. Lekaslah !” kata saya
dalam hati.
Akhirnya saya mendapatkan apa yang saya inginkan, selama
tiga hari berturut saya gunakan otopet untuk berkeliling kampung, lalu di hari
ke 4 saya sudah merasa bosan. Lalu saya mengeluhkan hal lain.
Jadi begini teman-teman, intinya adalah, keluhan itu
adalah hal yang baik. Manusia harus punya keluhan, harus punya sesuatu yang
ingin dia capai, harus ada sesuatu yang harus dia kalahkan. Tapi alangkah
baiknya keluhan itu tidak di umbar di media sosial. Cukup hanya kamu dan buku
tulis yang tau, lalu, hajar keluhan itu sampai dapat, jika sudah dapat,
lekaslah mengeluh untuk hal yang lain. ya begitulah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar