Sabtu, 16 September 2017

Sang Pengeluh

sejujurnya, jika kamu ingin membaca chapter ini, kamu harus paham terlebih dahulu tentang bagaimana saya menyikapi sebuah masalah dalam hidup. Dan semua sikap saya terhadap permasalahan hidup, sudah saya bahas di chapter “the power of yaudah”. Dan untuk menjaga uang koin tetap terjaga, kamu harus melihat sisi sebaliknya. Untuk menjaga “ying” tetap “yang”, kamu harus melihat sisi gelapnya. Secara garis besar, manusia dibagi menjadi dua tipe, yang pertama adalah manusia yang selalu bilang
“tenanglah, paling tidak saya lebih baik darinya”.
dan tipe yang kedua adalah, manusia yang selalu bilang ,
“sial ! kenapa hidupku seperti ini ! kenapa mereka lebih beruntung daripada aku ?”.
Mungkin saya sudah terbiasa menyikapi berbagai hal dengan yaudah, tapi bagaimana dengan pengeluh-pengeluh pemula yang beredar di dunia maya ? apakah mereka sama dengan saya ? jawabanya adalah “ya”. Sejujurnya, sebelum saya jadi selomo ini, masa lalu saya penuh dengan keluhan. Sungguh banyak sekali keluhan dalam hidup. Saya masih ingat betul saat saya SD, tumpukan keluhan saya tumpuk-tumpuk menjadi sebuah bukit. Dari keluhan kenapa saya tidak punya PS2, kenapa saya tidak punya otopet, dan kenapa saya berangkat sekolah disuruh naik sepeda ?. dan keluhan-keluhan lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu-persatu.
Apakah keluhan itu baik ? ya bisa iya, bisa tidak. Saat saya kecil, media sosial belum ditemukan. Belum ada facebook, twitter, instagram dan medsos lainya. Sehingga jika saya ingin mengeluhkan sesuatu, selalu saya tulis di buku tulis di bagian paling belakang. Hanya saya dan buku tulis yang tau. Sehingga keluhan itu seperti ambisi yang harus saya raih, ambisi dan cita-cita yang hanya saya dan buku tulis yang tau, bukan seperti pengeluh pemula yang sekarang beredar sangat banyak di dunia maya. Asal kalian tahu, mengeluh di media sosial hanyalah tindakan membuang-buang tenaga. Asala kalian sadari, itu hanyalah menularkan energi negatif ke pembaca lain yang merasa sama dengan anda. Apakah keluhanmu akan berakhir dengan like yang banyak dan teman-temanmu yang sok peduli itu ? sepertinya hanya empati sampah yang tidak akan memberikan solusi apa-apa. Dibandingkan dengan saya, keluhan yang saya tulis dibuku jauh lebih bermanfaat untuk saya , tapi tidak untuk buku. Memang kasihan si buku.
Alkisah, pernah suatu ketika, teman saya dibelikan otopet oleh bapak ibunya. Bagi yang tidak tau otopet, itu adalah kendaraan yang sering digunakan poo untuk berkeliling-keliling di bukit teletubies.
“wahai ibunda, kenapa kau tak belikan aku otopet seperti yang dia miliki itu ?, kenapa dia dengan mudah mendapatkan apa yang dia inginkan ?” tanyaku.
“wahai anaku, sesungguhnya ibumu tidak punya uang untuk membelikanmu kendaraanmu seperti itu, jika kamu benar-benar menginginkan sesuatu, kamu harus berusaha dengan usahamu sendiri”. Jawab ibu.
Lalu ibu kembali berujar,
“oke baiklah, ibu akan membelikanmu otopet, tapi jika kamu rangking 1 berturut-turut dari kelas 1 sampai kelas 3”
Lalu saya menajwab, “oke, tak masalah, mudah saja bagiku”.
Lalu saya pun langsung belajar dengan khidmat setiap hari. Ditahun pertama saya berhasil menyapu bersih rangking 1, ditahun kedua pun dilaluinya dengan mudah, dan ditahun ketiga dia akhiri dengan fantastis.
“oke ibu , saya sudah ranghking 1 banyak sekali, sekarang silahkan pergi ke toko otopet dan belikan kendaraan itu. Lekaslah !” kata saya dalam hati.
Akhirnya saya mendapatkan apa yang saya inginkan, selama tiga hari berturut saya gunakan otopet untuk berkeliling kampung, lalu di hari ke 4 saya sudah merasa bosan. Lalu saya mengeluhkan hal lain.
Jadi begini teman-teman, intinya adalah, keluhan itu adalah hal yang baik. Manusia harus punya keluhan, harus punya sesuatu yang ingin dia capai, harus ada sesuatu yang harus dia kalahkan. Tapi alangkah baiknya keluhan itu tidak di umbar di media sosial. Cukup hanya kamu dan buku tulis yang tau, lalu, hajar keluhan itu sampai dapat, jika sudah dapat, lekaslah mengeluh untuk hal yang lain. ya begitulah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar