Di langit-langit atap tak ada bintang, tak ada bulan.
Tapi ada cicak, mulai mengibas-ngibaskan buntut.
Hitam putih di brutu nya mulai merekah.
Aku pun deg-degan.
Seperti ingin membuat vandalisme di pipiku.
Membuat vandalisme dengan hitam putihnya yang merekah di brutu.
Jantungku mulai berdegup kencang.
Aku takut akurasi brutu nya tidak titis.
Yang seharusnya dia curahkan di pipi malah meleset kebagian mulutku yang mangap.
Ah, kenapa saya malah mangap-mangap di bawah kibasan ekor cicak ?
Lalu aku dengan terburu-buru langsung pergi dari area target pengeboman.
Lalu, hal yang dia inginkan benar-benar terjadi.
Aku melihatnya dengan cermat, meluncur deras dengan bantuan gravitasi 10m/s.
Meluluh lantakan seprei kasur yang baru saja saya ganti !
Sial !
Lalu dia pergi begitu saja seolah-olah itu hal yang biasa.
Aku sangat dendam.
Ingin sekali aku membalasnya.
Ingin sekali aku bisa merayap di tembok, mencari cicak yang melata di lantai, lalu aku jatuhi dia dengan coklat pekat, blar !
Mampus kau di koyak koyak tai.
-tamat, dendam kesumat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar