Saat kuliah, saya menemukan beberapa turning point yang benar-benar mengubah mindset saya. Turning point yang benar-benar menimbulkan efek "sialan, bener juga". Dan mengubah cara pandang saya dalam menyikapi sesuatu. Ada 5 turning point yang benar benar sangat melekat dan masih saya ingat sampai sekarang. Apa sajakah ? Yuk ah, sikat.
Ini adalah turning point yang pertama. Yaitu dosen bahasa indonesia, perempuan. Agak muda. Saya lupa namanya. Mungkin satu kelas sudah lupa dengan ucapan beliau. Atau justru nggak peduli. Tapi saya masih ingat. Benar-benar ingat. Dia mengajar di kelas dengan membawa buku sangat banyak, lalu beliau bilang, "kalian tau kenapa saya bawa buku banyak ? Karena satu buku di atas ini, akan berhubungan dengan buku buku di bawahnya. Entah itu buku fisika lalu bawahnya buku tentang olahraga sekalipun, itu tetap berhubungan. Karena ilmu tak bisa berdiri sendiri. Maka dari itu. Jangan pernah merasa paling pintar hanya karena menguasai satu ilmu, karena ilmu-ilmu lain akan senantiasa mengikuti. Apa yang kamu sombongkan dari ilmu ? Padahal semakin kamu membaca, kamu semakin tau apa yang tidak kamu ketahui". Sadis. Saya langsung menunduk. Merasa diri saya sangat kecil. Seperti cemilan di alam semesta. Mungkin sejak saat itu saya jadi haus akan buku. Semakin haus menghubung-hubungkan satu ilmu dengan ilmu-ilmu yang lain agar terhubung. Dan benar ternyata, semua ilmu benar-benar berhubungan. Dan saya sudah menemukan sumber dari segala sumber ilmu, yang menghubungkan segala jenis ilmu. yaitu ilmu filsafat.
Lalu lambat laun, di tengah-tengah kehausan saya akan buku, munculah pak hamid anwar. Beliau adalah pembimbing akademik saya. Jika ada ajang dosen panasonic award, sudah jelas saya akan memilih pak hamid. Ada dua prinsip yang benar-benar membekas di benak saya. Yang pertama adalah prinsip tentang menyikapi sebuah gender. "Apa yang membedakan laki-laki & perempuan?". Semua mahasiswa hanya terdiam saat itu. Lalu pak hamid mulai menggambar sebuah tabel, yang kanan tabel untuk laki2, dan yang kiri untuk perempuan. "Apa yang membedakan ? Tidak ada yang tahu ? Coba perhatikan. Perempuan dan laki2 sama sama memiliki tangan, kaki, kepala dan badan. Yang ke-1, yg membedakan adalah bentuk payudara. Yang ke-2, adalah bentuk kelamin. Yang ke-3, adalah organ2 pembentuk sel telur dan sperma. Udah. Hanya 3 itu. hanya 3 itu yang paten yang tidak bisa kamu terobos. Selain itu, seperti memakai rok, anting-anting, rambut panjang, sepatu hak tinggi, warna pink, sifat lemah lembut dan maco, semua bisa kamu terabas. itu hanyalah budaya dan kebiasaan kebiasaan dari masa lampau. Kamu bisa menerobos bebas keluar masuk di bagian kebiasaan, tapi tidak untuk ketiga hal yang sudah kodrat tersebut." Sadis. Sialan. Lagi lagi saya kalah telak. Mungkin itu kenapa sejak saat itu saya lebih suka memakai kaos berkerah warna pink dan lebih suka rambut gondrong daripada cepak. Biar di kata aneh, bodo amat.
Lalu ada lagi prinsip pak hamid yang benar benar saya tiru, saat membahas dua mahasiswa keras kepala yang sedang berdebat. Beliau berkata "dalam sebuah perdebatan, ada dua kemungkinan yang terjadi, yang pertama adalah melebur jadi satu, dan menjadi satu pemikiran, atau tidak melebur dan berjalan menurut pemikiranya masing-masing. Itupun tak masalah. Itulah kenapa pemaksaan kehendak tidak bisa dilakukan dalam sebuah perdebatan". Wow. Mungkin ini jawaban dari pertanyaan saya selama ini, kenapa di dunia ini terdapat banyak agama, banyak suku, banyak ras dan banyak partai yang berdiri menurut prinsipnya sendiri-sendiri. Keren.
Lalu semester terus berlanjut, memasuki semester akhir. Bertemulah saya dengan bu woro. Sepertinya beliau bergelar prof, dosen juga di pasca sarjana. Tapi ini tentang kutipanya, sebelum dia memulai mata kuliah statistika. Beliau berkata "apa tujuanmu datang ke sini ? Datang ke kelas ini ? Ilmu ? Ya benar. Ilmu. Lalu, untuk apa ilmu tersebut ? " lalu semua satu kelas cuman bengong antara tidak bisa menjawab atau tidak mendengarkan. Saya tergolong yang tidak bisa menjawab. Kalau dengar, saja jelas mendengarkan, karena saya duduknya paling depan. Tapi saya tidak bisa menjawab. Jawabanya apa bu, lekaslaaah, jangan membuat saya penasaran. Lalu bu woro pun akhirnya menjelaskan, "tujuan ilmu, dibagi menjadi tiga bagian. Yang ke-1 adalah, ilmu bertujuan untuk menjelaskan. Lebih sederhanya adalah, jika kamu membeli mesin cuci, kulkas, dll, pasti ada buku panduan untuk menjelaskan. Disitulah fungsi ilmu. Untuk menjelaskan. Yang sebelumnya tidak tau. Menjadi tau. Menjadi lebih jelas. Lalu yang ke-2, tujuan ilmu adalah untuk memprediksikan. Ini benar adanya. Semakin ber ilmu seseorang, semakin akurat dalam dia memprediksi. Pakar gunung berapi pun bisa memperediksi meledaknya gunung juga karena ilmu. Walaupun kadang tidak akurat 100%, tapi dengan memprediksi, manusia lebih siap dengan segala kemungkinan. Lalu yang ke-3 adalah mengendalikan. Ini adalah level ilmu tertinggi. Ketika ilmu kita sudah cukup mumpuni, kita bisa mengendalikan barang-barang, bahkan manusia manusia di sekeliling kita, bisa kita kendalikan menggunakan ilmu. Jadi tujuan ilmu adalah menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan.". Widih keren. Bu woro adalah keren.
Lalu yang ke empat ini bukan kutipan. Cuman celoteh spontanitas dari pak herka, yang memang menimbulkan efek, "sialan, bener juga. Asem. Ketahuan". Begitulah. Saat itu mahasiswa lewat sliwer sliwer. Dan saya ketemu pak herka lalu salim dan cium tangan. Lalu pak herka berkata "mahasiwa zaman sekarang ki cium tangan ming arep njaluk nilai apek. Ora ono cium tangan kok tenanan pengen menghormati. Rak. Rak ono. Bar cium tangan ngeneki mengko sore neng warung mesti yo do ngrasani aku". Begitulah ucap pak herka. Memang benar. Kami suka ngrasani dosen. Semua dosen selalu kami rasani, dan kami memang ingin dapet nilai A. Selamat pak herka. Anda benar.
lalu ini kutipan saya yang saya kagumi paling akhir. "heh kamu, kamu itu kuliah dapet apa ? Ijazah ? Kalau ijazah besok saya carikan saya mintakan ke rektor, besok langsung yudisium. Silahkan. Tapi ilmumu yg kamu bawa setelah menjadi sarjana apa ? Kopong ?. Pah poh ? Kuliah mbayar larang-larang raentuk opo-opo. Udah. Ini bab dua kok ming koyo koran. Cari lagi, di perpustakan, bab 2 minimal 50 lembar. Biar nanti saya revisi lagi". ( Moch. Slamet ). Enjih pak enjih pak. Jawab saya saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar