Selasa, 27 Desember 2016

Sekolah Menengah Atas, ( Part 1 )

Di tulis biar nggak lupa, mungkin akan berguna untuk kotak tawa 10 atau 20 tahun kedepan, entah. Masa SMA, masa dimana seolah-olah sok dewasa selalu ingin memecahkan masalah padahal malah nambah masalah. Waktu SMP nggak senakal ini, mungkin ini puncak-puncaknya nakal. Jiwa yang bergejolak selalu ingin tantangan yang orang lain tidak bisa lakukan. Nalar, logika dan hati tidak pernah singkron. Asal berani, yaudah lakukanlah.
Saya, adalah Salah satu siswa di salah satu sekolah favorit di kota yogyakarta. Rata - rata nemnya cukup tinggi untuk masuk di sana, tapi tepatnya saya lupa. Tertinggi ada nem 39 koma, terendah 34 koma. dari 4 mata pelajaran. berarti nilai unas smp nya harus di atas 8 koma untuk masuk di sma ini. Dan nem saya ? adalah 34,15, dapat bonus karena sepak bola, jadi 34,55. Alhamdulilah di terima.
Semua berawal dari sini, kelas X.
Kita belum terlalu kenal, masih saling lihat-lihat kepribadian. Yang jelas berburu yang cantik. Ada yang cantik, lebih dari satu, semua pasti akan kupacari pada waktunya. Tuhan mengirimkan totok di samping bangku saya, di kelas x. Sosok yang suka nebeng waktu pulang sekolah, sosok yang nggak pernah belajar waktu ulangan, kerjaan nya nyontek, siapa lagi kalau bukan nyontek saya. Karena merasa menjadi sumber jawaban, itu memaksa saya untuk belajar pada malam harinya. Walaupun sebenarnya males. Harus di akui , dengan adanya totok berdampak positif dengan minat belajar saya di kelas x. Akhirnya semester 1 selesai, saya rangking 11, totok rangking 20 ke atas. Dan pada akhirnya itu adalah rangking terbaik saya seumur hidup di SMA Negeri favorit di Yogyakarta.
Masih di kelas sepuluh, tepatnya sepuluh lima, sudah saling kenal, satu semester berjalan, udah tau mana yang namanya amir, anton, simbah, bayu, totok, ical, dan lain-lain. Sudah saya bilang, sma itu asal lucu yaudah lakukan. Kalau ditanya manfaatnya apa, ya nggak bisa njawab, buat seru-seruan aja, buat lucu-lucuan. Dan ide selalu datang dari mana saja.
Siang menjelang sore itu berjalan seperti biasa. Tapi semua berubah setelah melihat keset di depan kelas. Tanpa pikir panjang terceletuklah ide, “ sepertinya kalau di masukin tas nya ical lucu ”. Maka yang terjadi-terjadi lah. Ical lagi dikantin di jam istirahat kedua. Saya masukan ke tasnya. Ical sadar tasnya nambah berat. Lalu marah. Hampir pukul-pukulan. Tapi nggak jadi. Semua maaf-maafan. Tasnya ical penuh debu dan pasir serpihan keset. Saya ketawa, semua satu kelas ketawa, ical enggak. Lalu paginya, semua berjalan normal seperti biasa. Tak ada balas dendam, terselesaikan dengan damai sentosa.
Beberapa hari berikutnya, dapet lipatan kardus entah dari mana, yang jelas kardusnya besar. Kalau di tekuk jadi berbentuk flat, kalau di lempar kayak piring terbang. Saya dari depan kelas, anton di belakang kelas. Lempar-lemparan di jam istirahat pertama. Jendela terbuka, bawah jendela ada kantin, ada kompor ada panci berisi opor ayam. Tak ada niat mendzolimi ibu kantin, semua terjadi begitu cepat, lemparan spin yang melengkung menghujam kencang keluar dari jendela kelas, dan sepersekian detik tedengar suara krompyang-krompyang dari bawah jendela. Saya lari keluar kelas, anton juga ikut, mencari tempat persembunyian teraman agar tidak bisa di cari oleh suami ibu kantin yang berjenggot itu. Semua aman. Bel masuk berbunyi. Di istirahat kedua kami mencoba menjenguk untuk memastikan keadaan kompor dan opornya.
 “ buk, pesen opor ayam satu”.
 Ibu kantin menjawab,”hari ini nggak jual opor dek, tadi opornya tumplak kejatuan kardus dari jendela”.
Lalu anton menjawab dengan bahasa kromo inggil sangat alus “ kok saget ngoteniku pripun nggeh bu ?”.
Ibunya dengan muka melas njawab lagi , “ ya nggak tau dek, tau-tau ada kerdus keluar dari jendela, padahal masak opornya banyake, tumplak semua. ”
Ku bilang “ oh gituuuu, yang sabar nggih bu. yaudah bu, nggak jadi beli opor, tak beli ke tempat lain aja, mari bu”
Akhirnya saya dan anton beli siomay. Maafkan saya ibu kantin. Tak ada maksud untuk menyakiti. Semua sudah berlalu. Yang sudah biarlah sudah.
Beberapa hari berikutnya, persami datang. Apa itu persami ? perekemahan sabtu minggu. Waktu itu sepertinya di kulonprogo. Tapi tempat pastinya saya lupa. Semua biasa aja, sebelum malam pentas seni datang. Saya dan anton jalan-jalan karena yang tampil pentas membosankan. Namanya aja malam, ya pasti gelap. Anton nggak bawa senter, apalagi saya. Asal jalan, blusukan ke kerumunan penonton perempuan. Mukanya nggak pada kelihatan. Dan moment itu tiba, saya lihat sesosok perempuan gendut duduk lesehan dengan senter di sampingnya. Anton tau , tapi saya nggak tau, bahwa itu adalah guru sejarah yang galak.
 Lalu, kutendang pantat nya, kubilang “ heh, njileh senter e yo,?”
Perempuanya diam, anton diam, sambil nyenggol-nyenggolin sikutnya ke tubuh saya.
Kubilang lagi, “ heh, dijak omongan meneng wae, njileh entuk ora ?”
Anton semakin keras nyenggol-nyenggolnya, tapi saya belum paham. Ibunya juga hanya diam, sambil ngelihatin saya. Saya ngelihatin panggung.
Di kesempatan ketiga saya lihat wajahnya, oig ! “ eh bu endang, hehe, bu pinjem senternya boleh bu ? hehe, yuadah kalau nggak boleh bu, saya permisi dulu, hehe, asalamualaikum”
Saya pergi jalan kaki agak lari, anton ikut, lalu njambak rambut saya di lokasi yang sudah aman. Sudah tak perlu di perpanjang lagi. Semua sudah terjadi, malu lah selagi masih bisa malu. Dan sampai sekarang saya masih pekewuh kalau mikirin bu endang.
Masih di malam itu malam yang penuh malu itu, malam semakin larut, pentas seni sudah selesai, semua sudah pada mau tidur, bahkan udah pada tidur, saya dan anton belum. Kebelet pipis, tapi kamar mandinya jauh. Sangat jauh. Karena males jalan kaki jauh-jauh, maka hanya nyari semak-semak di samping tenda. Anton menghadap kiri, saya menghadap kanan. Dipertengahkan kencing mulai terdengar suara krosak-krosak. Saya kira anton, ternyata bukan. Masih di diemin. Di 2 detik berikutnya suara krosak-krosaknya semakin menjadi-jadi. Saya lari, anton ikut lari, pipis nya belum selesai, pipisnya sambil berlari-lari. Kisah malam itu selesai. Paginya saya selidiki, ternyata yang saya pipisi adalah kandang kalkun, dan saya duga yang saya kencingi tadi malam adalah kalkun. Mana saya tahu ? kan gelap gulita, nggak punya senter pula.
Beberapa hari berikutnya, persami selesai, semester 2 mulai, udah mulai pada naik motor kalau berangkat sekolah, saya pun iya, anton juga. Kenapa selalu anton ? karena rumahnya anton jauh di barat, saya juga. Jadi ada ikatan sesama orang barat. Anton selalu bawa mantol kalau berangkat sekolah, saya nggak pernah. Mantolnya anton selalu di taruh di jepitan motor, nggak pernah dia masukin di jok motor, mungkin mau sombong ke saya kalau dia punya mantol. Dan dia berhasil membuat saya iri. Dia kalau berangkat pagi-pagi sekali. Kalau saya telat, selalu. Sebelum masuk kelas saya sempatkan nyari motor anton terlebih dahulu, saya buka mantolnya, saya jembreng-jembrengkan dan saya krukupkan ke motornya, walau hari tidak hujan sekalipun. Hampir setiap pagi seperti itu. Sampai 2 minggu berlalu anton pun sadar ada yang tidak normal. Dan akhirnya dengan sendirinya anton memasukan mantol sombongnya itu ke jok motor, tanpa mengetahui siapa yang suka menjembreng mantolnya setiap hari. Pesan dari kisah ini adalah, jangan pernah sombong walau dengan mantol sekalipun.
Beberapa hari berikutnya, saya sudah berdamai dengan diri saya sendiri dan dengan ibu kantin yang jualan opor. Saya akhirnya beli opor lagi di tempat ibuk itu. Ibuknya tetap nggak tau siapa yang menumplakan opornya dengan kardus tempo-tempo hari. Udah lupakan. Ini bukan tentang opor tumplak. Ini tentang makan opor ayam. Sudah saya habiskan, tapi kuahnya masih. Tiba-tiba si amir datang dengan mencampur bumbu kacang siomay ke dalam kuah opor, sambil nantangin, “ kalau berani nyeruput kuahnya, saya kasih dua ribu”.
“ah cuman dua ribu, nggak maulah” kataku.
Anton datang, sambil nuangin coca-cola ke piring kuah opor plus kuah kacang siomay.
 “ tiga ribu, berani nggak” kata anton.
Saya tetap nggak mau. Lia datang, nyampurin es teh ke adonan coca-cola, kuah opor, bumbu kacang siomay, sambil bilang. “lima ribu, gimana ?”
“Ok deal, jawabku”, ternyata harga diri saya hanya lima ribu saat itu. Saya ambil sendok makan, saya sruput adonan kuah biadab tersebut. Semua yang ngelihat hampir muntah, saya enggak. Tidak membahayakan, nyatanya saya masih hidup sampai sekarang. Alhamdulilah.
Beberapa minggu berikutnya, masih di kelas sepuluh, perjalanan semester 2 mau berakhir, saya mulai kenal dengan siswi yang duduk di depan bangku saya, tak lain dan tak bukan dialah lala dan dita. Saya di belakang lala, totok di belakang dita. Kalau kerja kelompok sering berempat, emang seperti itu adanya. Tugas kelompok sering dikerjakan di rumah lala, ada sedikit cinlok-cinlokan. Mungkin antara totok dengan pak tukang kebunnya lala. Tapi ini bukan cerita tentang cinlok, ini tentang situasi di kelas. Lala duduk selalu di depan saya, kalau saya pinjam tipek, penghapus, pensil, pulpen, penggaris, selalu ke tempat lala. Cara manggilku cuman cukup dengan cara mencoblos-coblos tas nya menggunakan bolpen, nanti lala mesti noleh sambil marah-marah. Pernah suatu ketika saya mainan karet, karet pentil, yang warnanya coklat. Saya tarik karetnya, siap di jepretkan, lala masih menghadap ke depan, lalu kupanggil, “ lak, lalak !” dan clak ! karetnya kena matanya, lala nangis, aku ketawa. Aku ketawa. Aku ketawa. Lala masih nangis. Saya iba. saya mencoba minta maaf tapi lala masih nangis. Yaudah saya pergi ke kantin karena saat itu saya lapar. Hari berikutnya saya lupa, lala masih inget. Mungkin sampai sekarang lala masih inget. Tapi saya udah lupa.
Beberapa minggu berikutnya, semester dua benar-benar mau habis, saya mulai risi tiap ulangan selalu di conto sama totok, setiap pulang selalu di tebengi naik motor sama totok. Benar-benar risi. Saya akan ganti partner sebangku di kelas dua kalau saya di beri kesempatan. Dan akhirnya kelas sepuluh pun berakhir, saya lupa rangking berapa, saya lupa yang ngambil rapot siapa, tapi yang jelas saya masuk ke keluarga baru, yaitu kelas XI IPA 4. Disitu saya berhasil mendapat partner sebangku baru, dialah Bayu.
Beberapa hari berikutnya, di sebelas ipa empat .........



Tidak ada komentar:

Posting Komentar