Di tulis biar nggak lupa, mungkin akan berguna untuk
kotak tawa 10 atau 20 tahun kedepan, entah. Masa SMA, masa dimana seolah-olah
sok dewasa selalu ingin memecahkan masalah padahal malah nambah masalah. Waktu
SMP nggak senakal ini, mungkin ini puncak-puncaknya nakal. Jiwa yang bergejolak
selalu ingin tantangan yang orang lain tidak bisa lakukan. Nalar, logika dan
hati tidak pernah singkron. Asal berani, yaudah lakukanlah.
Saya, adalah Salah satu siswa di salah satu sekolah
favorit di kota yogyakarta. Rata - rata nemnya cukup tinggi untuk masuk di
sana, tapi tepatnya saya lupa. Tertinggi ada nem 39 koma, terendah 34 koma. dari
4 mata pelajaran. berarti nilai unas smp nya harus di atas 8 koma untuk masuk
di sma ini. Dan nem saya ? adalah 34,15, dapat bonus karena sepak bola, jadi
34,55. Alhamdulilah di terima.
Semua berawal dari sini, kelas X.
Kita belum terlalu kenal, masih saling lihat-lihat
kepribadian. Yang jelas berburu yang cantik. Ada yang cantik, lebih dari satu,
semua pasti akan kupacari pada waktunya. Tuhan mengirimkan totok di samping
bangku saya, di kelas x. Sosok yang suka nebeng waktu pulang sekolah, sosok
yang nggak pernah belajar waktu ulangan, kerjaan nya nyontek, siapa lagi kalau bukan
nyontek saya. Karena merasa menjadi sumber jawaban, itu memaksa saya untuk
belajar pada malam harinya. Walaupun sebenarnya males. Harus di akui , dengan
adanya totok berdampak positif dengan minat belajar saya di kelas x. Akhirnya
semester 1 selesai, saya rangking 11, totok rangking 20 ke atas. Dan pada
akhirnya itu adalah rangking terbaik saya seumur hidup di SMA Negeri favorit di
Yogyakarta.
Masih di kelas sepuluh, tepatnya sepuluh lima, sudah
saling kenal, satu semester berjalan, udah tau mana yang namanya amir, anton,
simbah, bayu, totok, ical, dan lain-lain. Sudah saya bilang, sma itu asal lucu
yaudah lakukan. Kalau ditanya manfaatnya apa, ya nggak bisa njawab, buat
seru-seruan aja, buat lucu-lucuan. Dan ide selalu datang dari mana saja.
Siang menjelang sore itu berjalan seperti biasa. Tapi
semua berubah setelah melihat keset di depan kelas. Tanpa pikir panjang
terceletuklah ide, “ sepertinya kalau di masukin tas nya ical lucu ”. Maka yang
terjadi-terjadi lah. Ical lagi dikantin di jam istirahat kedua. Saya masukan ke
tasnya. Ical sadar tasnya nambah berat. Lalu marah. Hampir pukul-pukulan. Tapi
nggak jadi. Semua maaf-maafan. Tasnya ical penuh debu dan pasir serpihan keset.
Saya ketawa, semua satu kelas ketawa, ical enggak. Lalu paginya, semua berjalan
normal seperti biasa. Tak ada balas dendam, terselesaikan dengan damai sentosa.
Beberapa hari berikutnya, dapet lipatan kardus entah dari
mana, yang jelas kardusnya besar. Kalau di tekuk jadi berbentuk flat, kalau di
lempar kayak piring terbang. Saya dari depan kelas, anton di belakang kelas.
Lempar-lemparan di jam istirahat pertama. Jendela terbuka, bawah jendela ada
kantin, ada kompor ada panci berisi opor ayam. Tak ada niat mendzolimi ibu
kantin, semua terjadi begitu cepat, lemparan spin yang melengkung menghujam kencang
keluar dari jendela kelas, dan sepersekian detik tedengar suara
krompyang-krompyang dari bawah jendela. Saya lari keluar kelas, anton juga
ikut, mencari tempat persembunyian teraman agar tidak bisa di cari oleh suami
ibu kantin yang berjenggot itu. Semua aman. Bel masuk berbunyi. Di istirahat
kedua kami mencoba menjenguk untuk memastikan keadaan kompor dan opornya.
“ buk, pesen opor
ayam satu”.
Ibu kantin
menjawab,”hari ini nggak jual opor dek, tadi opornya tumplak kejatuan kardus
dari jendela”.
Lalu anton menjawab dengan bahasa kromo inggil sangat
alus “ kok saget ngoteniku pripun nggeh
bu ?”.
Ibunya dengan muka melas njawab lagi , “ ya nggak tau
dek, tau-tau ada kerdus keluar dari jendela, padahal masak opornya banyake,
tumplak semua. ”
Ku bilang “ oh gituuuu, yang sabar nggih bu. yaudah bu,
nggak jadi beli opor, tak beli ke tempat lain aja, mari bu”
Akhirnya saya dan anton beli siomay. Maafkan saya ibu
kantin. Tak ada maksud untuk menyakiti. Semua sudah berlalu. Yang sudah biarlah
sudah.
Beberapa hari berikutnya, persami datang. Apa itu persami
? perekemahan sabtu minggu. Waktu itu sepertinya di kulonprogo. Tapi tempat
pastinya saya lupa. Semua biasa aja, sebelum malam pentas seni datang. Saya dan
anton jalan-jalan karena yang tampil pentas membosankan. Namanya aja malam, ya
pasti gelap. Anton nggak bawa senter, apalagi saya. Asal jalan, blusukan ke
kerumunan penonton perempuan. Mukanya nggak pada kelihatan. Dan moment itu
tiba, saya lihat sesosok perempuan gendut duduk lesehan dengan senter di sampingnya.
Anton tau , tapi saya nggak tau, bahwa itu adalah guru sejarah yang galak.
Lalu, kutendang
pantat nya, kubilang “ heh, njileh senter e yo,?”
Perempuanya diam, anton diam, sambil nyenggol-nyenggolin
sikutnya ke tubuh saya.
Kubilang lagi, “ heh, dijak omongan meneng wae, njileh
entuk ora ?”
Anton semakin keras nyenggol-nyenggolnya, tapi saya belum
paham. Ibunya juga hanya diam, sambil ngelihatin saya. Saya ngelihatin
panggung.
Di kesempatan ketiga saya lihat wajahnya, oig ! “ eh bu
endang, hehe, bu pinjem senternya boleh bu ? hehe, yuadah kalau nggak boleh bu,
saya permisi dulu, hehe, asalamualaikum”
Saya pergi jalan kaki agak lari, anton ikut, lalu njambak
rambut saya di lokasi yang sudah aman. Sudah tak perlu di perpanjang lagi.
Semua sudah terjadi, malu lah selagi masih bisa malu. Dan sampai sekarang saya
masih pekewuh kalau mikirin bu endang.
Masih di malam itu malam yang penuh malu itu, malam
semakin larut, pentas seni sudah selesai, semua sudah pada mau tidur, bahkan
udah pada tidur, saya dan anton belum. Kebelet pipis, tapi kamar mandinya jauh.
Sangat jauh. Karena males jalan kaki jauh-jauh, maka hanya nyari semak-semak di
samping tenda. Anton menghadap kiri, saya menghadap kanan. Dipertengahkan
kencing mulai terdengar suara krosak-krosak. Saya kira anton, ternyata bukan.
Masih di diemin. Di 2 detik berikutnya suara krosak-krosaknya semakin
menjadi-jadi. Saya lari, anton ikut lari, pipis nya belum selesai, pipisnya
sambil berlari-lari. Kisah malam itu selesai. Paginya saya selidiki, ternyata yang
saya pipisi adalah kandang kalkun, dan saya duga yang saya kencingi tadi malam
adalah kalkun. Mana saya tahu ? kan gelap gulita, nggak punya senter pula.
Beberapa hari berikutnya, persami selesai, semester 2
mulai, udah mulai pada naik motor kalau berangkat sekolah, saya pun iya, anton
juga. Kenapa selalu anton ? karena rumahnya anton jauh di barat, saya juga.
Jadi ada ikatan sesama orang barat. Anton selalu bawa mantol kalau berangkat
sekolah, saya nggak pernah. Mantolnya anton selalu di taruh di jepitan motor,
nggak pernah dia masukin di jok motor, mungkin mau sombong ke saya kalau dia
punya mantol. Dan dia berhasil membuat saya iri. Dia kalau berangkat pagi-pagi
sekali. Kalau saya telat, selalu. Sebelum masuk kelas saya sempatkan nyari
motor anton terlebih dahulu, saya buka mantolnya, saya jembreng-jembrengkan dan
saya krukupkan ke motornya, walau hari tidak hujan sekalipun. Hampir setiap
pagi seperti itu. Sampai 2 minggu berlalu anton pun sadar ada yang tidak
normal. Dan akhirnya dengan sendirinya anton memasukan mantol sombongnya itu ke
jok motor, tanpa mengetahui siapa yang suka menjembreng mantolnya setiap hari.
Pesan dari kisah ini adalah, jangan pernah sombong walau dengan mantol
sekalipun.
Beberapa hari berikutnya, saya sudah berdamai dengan diri
saya sendiri dan dengan ibu kantin yang jualan opor. Saya akhirnya beli opor
lagi di tempat ibuk itu. Ibuknya tetap nggak tau siapa yang menumplakan opornya
dengan kardus tempo-tempo hari. Udah lupakan. Ini bukan tentang opor tumplak.
Ini tentang makan opor ayam. Sudah saya habiskan, tapi kuahnya masih. Tiba-tiba
si amir datang dengan mencampur bumbu kacang siomay ke dalam kuah opor, sambil
nantangin, “ kalau berani nyeruput kuahnya, saya kasih dua ribu”.
“ah cuman dua ribu, nggak maulah” kataku.
Anton datang, sambil nuangin coca-cola ke piring kuah
opor plus kuah kacang siomay.
“ tiga ribu,
berani nggak” kata anton.
Saya tetap nggak mau. Lia datang, nyampurin es teh ke
adonan coca-cola, kuah opor, bumbu kacang siomay, sambil bilang. “lima ribu,
gimana ?”
“Ok deal, jawabku”, ternyata harga diri saya hanya lima
ribu saat itu. Saya ambil sendok makan, saya sruput adonan kuah biadab
tersebut. Semua yang ngelihat hampir muntah, saya enggak. Tidak membahayakan,
nyatanya saya masih hidup sampai sekarang. Alhamdulilah.
Beberapa minggu berikutnya, masih di kelas sepuluh,
perjalanan semester 2 mau berakhir, saya mulai kenal dengan siswi yang duduk di
depan bangku saya, tak lain dan tak bukan dialah lala dan dita. Saya di
belakang lala, totok di belakang dita. Kalau kerja kelompok sering berempat,
emang seperti itu adanya. Tugas kelompok sering dikerjakan di rumah lala, ada
sedikit cinlok-cinlokan. Mungkin antara totok dengan pak tukang kebunnya lala.
Tapi ini bukan cerita tentang cinlok, ini tentang situasi di kelas. Lala duduk
selalu di depan saya, kalau saya pinjam tipek, penghapus, pensil, pulpen,
penggaris, selalu ke tempat lala. Cara manggilku cuman cukup dengan cara
mencoblos-coblos tas nya menggunakan bolpen, nanti lala mesti noleh sambil
marah-marah. Pernah suatu ketika saya mainan karet, karet pentil, yang warnanya
coklat. Saya tarik karetnya, siap di jepretkan, lala masih menghadap ke depan,
lalu kupanggil, “ lak, lalak !” dan clak ! karetnya kena matanya, lala nangis,
aku ketawa. Aku ketawa. Aku ketawa. Lala masih nangis. Saya iba. saya mencoba
minta maaf tapi lala masih nangis. Yaudah saya pergi ke kantin karena saat itu
saya lapar. Hari berikutnya saya lupa, lala masih inget. Mungkin sampai
sekarang lala masih inget. Tapi saya udah lupa.
Beberapa minggu berikutnya, semester dua benar-benar mau
habis, saya mulai risi tiap ulangan selalu di conto sama totok, setiap pulang
selalu di tebengi naik motor sama totok. Benar-benar risi. Saya akan ganti
partner sebangku di kelas dua kalau saya di beri kesempatan. Dan akhirnya kelas
sepuluh pun berakhir, saya lupa rangking berapa, saya lupa yang ngambil rapot
siapa, tapi yang jelas saya masuk ke keluarga baru, yaitu kelas XI IPA 4.
Disitu saya berhasil mendapat partner sebangku baru, dialah Bayu.
Beberapa hari berikutnya, di sebelas ipa empat .........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar