Kamis, 01 November 2018

Bandung Deui


Priiiiiiiiiiiiiittt.
Peluit di bunyikan. Tanda perjalanan sudah dimulai. Masinis mulai menggulirkan rodanya. Terlihat anak kecil Mendadah-dadahkan tangan dari luar jendela. Entah terinspirasi oleh siapa, entah pak Harto, entah Obama. Bandung lagi. Lagi lagi Bandung. Harus kembali bertemu dengan Braga dan sekitarnya. Jauh-jauh ke bandung cuman buat ketemu Braga. Kalau Braga sih, dulu di Sleman juga ada, nomer punggung dua delapan.

Otakku dua. Berada di dengkul kanan dan kiri. Kita Harus bersiap. Sebelum tertekuk kurang lebih selama 8 jam. Kadang aku ingin jadi arem-arem, enak banget. dimanapun tempatnya, tubuhnya selonjor terus. Tapi aku urungkan niat menjadi arem-arem. Aku takut dijual pak kabul.

Selanjutnya aku tertidur selama beberapa jam di dalam kereta murah, Ku tutup wajahku dengan kertas koran tabloid bola edisi terakhir, "hei lihat itu, wajahnya di tutupi koran. Kayak korban tabrak lari". Bisik-bisik orang dari kejauhan. Suaranya yang teng plekenyik tak aku hiraukan. Cuman sedikit berdoa dalam hati, "semoga ndasnya ketiban koper dari atas, amin".

Ditengah mata kriyip-kriyip, terdengar langkah kaki balita berjalan dengan terhuyung-huyung doyong kanan doyong kiri, memakai sepatu cacit cacit di dalam kereta. Dari segi keilmuan yg saya miliki, manusia dewasa akan kesusahan berdiri di atas kereta, apalagi.. braaaak ! Lalu njlungup beneran. "Mampos kao bocah !", kataku dalam hati. Nangis dia, ibunya entah kemana, Begitulah getirnya fakta hidupmu. Tapi nggak perlu nangis juga sih. Cengeng amat jadi bayi. Gitu aja nangis. Bayi memang nggak pernah bisa bersikap dewasa. "Dasar childist", Gumam dalam hati.

Perjalanan menyebrangi punk hazard sepertinya akan segera berakhir, bersamaan dengan berhentinya tangis balita anoying. Setelah beberapa hari tubuh dan wajah ditampar habis-habisan oleh matahari jogja, akhirnya saya akan kembali ke sisi lain dari punk hazard. Saya akan kembali berlatih menjadi orang dingin. Dingin hati, dingin sikap, dingin pikiran, dingin-dingin empuk juga.

Benar memang. Sebagai orang Jogja hanya dihadapkan dengan dua pilihan. Tetap tinggal, tapi harus siap ditinggal oleh orang-orang terbaik. atau pergi, meninggalkan orang-orang terbaik. Bunda, menangislah. Karena Jogja memang kota yg diciptakan dari air mata orang-orang yang harus pergi dan ditinggal pergi.

See you jogs !