Jumat, 15 Juli 2016

Solat Jumat yang ke 811

Siang itu cuaca sangat cerah, biasanya juga kayak gitu. Karena sekarang musim kemarau. Hari Kamis, pukul 11.30. saya selesai mandi, pakai baju bagus. Pakai sarung, siap berangkat jumatan. Sudah sampai di masjid, masjidnya sepi. Ternyata hari itu hari kamis. Saya pulang lagi. Kecurigaan saya tentang sepinya  recent udpate BBM terjawab sudah. Saya melanjutkan tidur di hari kamis yang kurang dramatis.
Siang itu cuaca sangat cerah, biasanya juga kayak gitu. Karena sekarang musim kemarau. Hari Jumat, pukul 11.30. saya selesai mandi, pakai baju bagus. Pakai sarung, siap berangkat jumatan. Sudah sampai di masjid, masjidnya ramai. Alhamdulilah kali ini dramatis. Jumatan selesai, saya pulang.
Ditengah-tengah perjalanan pulang saya merenung sambil mengendarai motor. Jalanya sepi. Lalu saya klakson-klakson sendiri, biar ramai. Ada ibu-ibu ngliat. Saya teriakin “apa lu ngliat-ngliat !”, ibu-ibunya diam aja, karena saya neriakinnya dalam hati. Sambil bermain klakson saya merenenung, kenapa ibu-ibu tadi tidak jumatan ? kenapa yang jumatan hanya kaum laki-laki. Kenapa perempuan tidak ? ini tidak adil. Enak sekali jadi perempuan, belum pernah ngerasain jumatan salah hari. Ini semua harus tercoba terbalik.
Saya mulai mencoba jadi perempuan. Saya mencoba minum kiranti, mencoba pakai softek, lalu menunduk sambil megangin dada biar nggak keliatan belahan. Oh ternyata rasanya kayak gini, gumamku. Ternyata rasanya biasa aja.
Masih setelah jumatan, setelah mencoba ketiga hal tersebut, saya disuruh beli gas oleh ibuk. Nahkan, mesti yang bagian angkut-angkut gini diserahkan laki-laki. Ah perempuan bisanya cuman nyuruh-nyuruh, memanfaatkan kekuatan laki-laki. Menyebalkan, gumamku. Gas sudah terbeli, 15 kilogram, dengan jarak kurang lebih 50 meter, agak ngos-ngosan.
Masih hari jumat, malam. Pukul 22:10 WIB, mbukak intsagram, lihat postingan temen yang udah hamil 9 bulan, perute gede banget, lebih gede dari tabung gas elpiji 15 kg. Lalu hati nurani berkata, “opo yo ora abot mbendino nggawani barang neng weteng gedene semono nengdi-nengdi”. Akhirnya saya sadar. 15 kg dengan jarak 50 meter tak sebanding dengan ibu hamil yang bawa “tabung gas” lebih dari 50 meter. Saya nggak mau ada tabung gas di perut saya.  Saya nggak mau kemana-mana bawa tabung gas. Saya nggak mau jadi perempuan. Enak jadi laki-laki. Tamat !